Part two…
oke gw come back lagi buat ngelanjutin postingan yang sempat bersambung.
Dari awal
sudah ditekankan televisi merupakan kotak ajaib yang memiliki segudang hiburan
dan mampu menghibur kita tanpa dipungut biaya untuk dapat menikmati hiburannya.
Tapi, televisi layaknya dua sisi mata uang yang berbeda dan tidak dapat
dipisahkan. Televisi memiliki dua sisi efek negatif dan positif. Televisi bisa
saja menjadi sesuatu hal yang negatif apabila para produsen media menyajikan
tayangan yang kurang mencerdaskan, Dan bisa juga sebaliknya apabila produsen
media mau menyajikan tayangan yang mencerdaskan bagi penikmatnya. Namun apapun
hal itu, kita harus sadar bahwa produsen media di Indonesia tidak semuanya
memberikan tayangan yang mencerdaskan. Para produsen memproduksi tontonan yang diinginkan
oleh khalayaknya bukan apa yang dbutuhkan oleh khalayaknya.
Jadilah sekarang
ini, kotak ajaib di rumah kita dihiasi oleh sinetron-sinetron yang kurang
berbobot, reality show yang mengeploitasi ketidak beruntungan saudara-saudara
kita dari segi finansial, reality show yang mengobjekkan perempuan menjadi bahan
guyonan, Dan berita dengan formulasi
3S (Sadis,Saru,Sedih). Semua hal yang saya sebutkan diatas adalah jenis-jenis
tayangan yang paling diminati masyarakat. Dampaknya? well, mungkin nggak
terlihat signifikan apabila kita melihat dampak negatif dari narkoba. Tapi
secara tidak sadar mindset kita bisa terpengaruhi apabila kita, terus menerus
menonton tayangan yang tidak berbobot, seperti dalam social learnng theory. Hal ini bisa terjadi apabila seorang
individu tidak mempunyai filter untuk menyaring tontonan yang dia konsumsi.
Sebagai contoh paling gampang, gambaran kita tentang orang kaya itu seperti
apa? orang yang kepapar sinetron pasti akan memiliki pandangan bahwa oang kaya
itu adalah orang yang selalu berpakaian bagus mestipun di dalam rumah, berias muka
dan menggunakan sepatu atau high heels dalam rumah dan pastinya memiliki mobil
dan hidup di rumah yang bertingkat. Tapi kalau dibandingkan dengan orang yang
memiliki sawah 100 hektare, peternakan sapi 100 ekor meskipun rumahnya kecil
dan tidak bertingkat apakah itu termasuk orang kaya atau tidak?. Itulah
sebabnya mengapa kita harus memiliki filter diri atau disebut LITERASI MEDIA.
Literasi media seperti yang diimpikan adalah salah satu filter diri yang
nantinya diharapkan mampu menyaring hal-hal yang dianggap menyesatkan bagi diri
sendiri. Tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga diharapkan kembali masyrakat
mampu menjadi watch dog bagi para
produsen tayangan di media massa Indonesia.
Sekarang, kita masuk dalam
pertanyaan BAGAIMANA, yah bagaimana memunculkan literasi media dalam diri
sendiri menurut asumsi saya? cara paling gampang adalah dengan MEMBACA. FYK,
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang senang sekali melihat dan kurang
menyenangi membaca. Dengan membaca secara tidak langsung kita membuka jendela
wawasan kita, memiliki referensi yang banyak tidak hanya terpaku dengan melihat
televisi. tapi hal ini dapat dilaksanakan bagi kaum elite perkotaan yang
memiliki akses yang lebih mudah dalam hal kepustakaan. Bagaimana dengan
orang-orang yang tidak beruntung dan tidak memiliki akses tersebut? Caranya
adalah dengan saling MENSOSIALISASIKAN literasi media itu sendiri. Tidak perlu
dengan membuka pelatihan atau semacamnya, cukuplah dengan memberitahu keluarga
di rumah, teman, dan keluarga jauh kita yang lainnya agar mengerti tentang
literasi media. Hal itu sudah cukup bermanfaat untuk memberitahu dan
mengajarkan orang lain tentang literasi media itu sendiri. Berikanlah
penjelasan-penjelasan yang cerdas terkait tontonan yang sedang kita nikmati,
dampingilah anak-anak dan adek kita yang kecil dalam menonton televisi tapi
yang lebih cerdas jangan kasih kesempatan buat adek kita atau anak-anak kita
untuk menonton tayangan yang belum semestinya dia tonton tapi lebih cerdas lagi
nggak perlu nonton televisi tapi ajaklah bermain dan berinteraksi
Perfect Class @kristianusevan Luapan Emosi
0 comments:
Post a Comment